Genre: Dokumenter | Durasi: 122 menit | Rating: R| Tanggal rilis: 26 Oktober, 2016 (AS)
Sutradara: Matt Whitecross
“Oasis
was like fucking ferrari, great to look at great to drive bla bla”
seloroh Liam Gallagher mengenang masa-masa bulan madunya saat masih bersama
Oasis dulu.
Kalau dipikir-pikir rasanya tak ada yang
berlebihan dari ucapan bintang rock’n
roll dengan aksi panggung minimalis itu. Mengingat pada medio 1990an, Oasis
memang sebuah grup musik yang bukan main fenomenal.
Ketika partai buruh—dibawah nahkoda Tony Blair—mengubah
peta perpolitikan Inggris dengan reformasi New Labournya, dan saat orang-orang
sibuk membandingkan pencapaian budaya populer masa itu dengan dekade 60an; lima
pemuda tengil dari kelas proletar kota Manchester, berhasil menapaki gemerlap
ketenaran lewat lagu yang berkisah tentang seorang yang hidup di balik air
terjun.
Karir mereka terus melesat maju tak terbendung.
Oasis tak ubahnya wabah pandemik yang terus meluas. Tak cuma menjangkiti orang-orang di
negeri tempat kelahiran Harold Pinter itu saja, virus yang mereka torehkan terus
bermigrasi ke setiap penjuru dunia. Kulminasi dari segala gegak gempita ini—bisa
dibilang—adalah konser yang digelar selama 2 hari di bulan mei 1996.
Sebanyak 4 juta jiwa hadir memadati knebworth park
waktu itu. Sekitar 4% dari angka populasi penduduk Inggris, berjibaku untuk
mendapatkan tiketnya. Media BBC menyebutnya sebagai sebuah konser yang menakrifkan
sebuah era. Dalam waktu relatif singkat, Oasis menahbiskan diri sebagai band
tersohor setelah era John lennon dkk.
Sialnya, Gusti Allah tak menghendaki eksistensi Oasis berlangsung terlalu lama, setelah digerogoti masalah internal yang kian berlarut-larut, Gallagher bersaudara resmi membubarkan Oasis di tahun 2009. Tujuh tahun
lewat, sejak kiprah band berjuluk sex beatles
itu terhenti, kerinduan fans barangkali sedikit terobati dengan
dirilisnya film dokumenter asuhan Matt Whitecross ini.
Supersonic memugar
kembali kenangan tentang waktu-waktu saat Liam dan Noel, bersama Guigsy,
Bonehead, dan Mccarroll memulai kiprahnya di belantika musik tanah britania; manggung
dari satu gig ke gig lainnya; ditemukan oleh Alan McGee (pemilik label indie
legendaris (creation records)); rekaman untuk kali pertama; bersenang-senang; melakukan
debut televisi; bersenang-senang; dan membuat dunia bertekuk lutut.
Harapan saya sempat membumbung tinggi akan supersonic. Alasannya; ada nama Asif Kapadia
di sana yang bercokol sebagai produser. Asif adalah orang yang sama yang membikin
film dokumenter nominator oscar tentang Amy Winehouse yang berharga itu.
Entah saya yang kebacut, terhanyut dalam
penggalan-penggalan rekaman mentah saat band ini akur, atau kadung terbuai oleh
lagu-lagu pemantik kenangan yang menetap—seperti live forever—hingga saya telat menyadari bahwa Supersonic cuma melulu berbicara tentang Oasis sebagai band hebat,
dulu. Tak jauh.
Tak seperti film Amy yang mendalam bin berwawasan,
Supersonic menghimpun simpul yang
berbeda dari harapan saya untuk mengetahui hal-hal yang belum saya ketahui
sebagai seorang penggemar. Matt Whitecross memang tak sampai menceritakan
bagaimana persona band ini memudar digerus ego masing-masing personilnya. Atau
paling tidak—sekurang-kurangnya—ikhtiar mereka dalam persaingan melawan
gempuran band-band lain seperti Pulp
dan Blur dalam semesta British Invasion, misalnya.
Selain sebatas menampilkan rekaman latihan,
konser, plus laku lajak para rockstarnya, tak ada lagi yang tersisa untuk
ditawarkan. Matt Whitecross tak benar-benar merangkai komponen-komponen untuk memberikan
perspektif lain tentang Oasis. Supersonic sempat membahas tentang
hubungan kakak beradik Gallagher dengan
sang ayah yang tak harmonis. Tapi porsinya terasa sekedar menjadi sempalan yang
ujug-ujug numpang lewat.
Lagi pula, tak begitu penting kiranya untuk penonton tahu serenggang apa ikatan bapak dan anak tersebut, toh esensinya cuma ingin membangkitkan mitos Oasis
sebagai sebuah panteon.
Hambar? Bisa dibilang begitu. Sebagian besar
materi dalam film Supersonic dapat dengan
mudah kita temukan di ensiklopedi daring kesayangan rakyat (wikipedia, red). Belum lagi,
di sepanjang 120 menitan film berjalan, jangankan pengetahuan berarti yang
penonton dapat, "petuah bijak" yang kerap
terlontar dari congor Noel maupun Liam gallagher tak satupun terdengar gaungnya.
Komentar-komentarnya bersesuaian, cenderung sopan
untuk kaliber mereka. Yang menghibur malah keseruan cerita-cerita tempelan
seperti saat Liam seakan mendapat wahyu bermusik dari Tuhan setelah kepalanya
dihantam dengan palu oleh teman sekolahnya; atau cerita tentang personil Oasis
yang teler sehabis menghisap bubuk
kristal ajaib.
Tak ada yang salah bila memang film rockumentary ini diarahkan untuk
mengenang yang manis-manis saja, tapi apakah juga harus sepelit ini? Saya lupa
bahwa disamping nama Asif kapadia, juga terselip nama the gallaghers nan mahsyur
duduk sebagai eksekutif produser. Barangkali ini satu-satunya jawaban, mengapa Supersonic bermula pada histeria
penonton yang mengelu-elukan nama mereka, lalu berhenti pada momen yang sama
persis. Oasis’ incredible gigs at Knebworth, the gigs of the century.
Lalu apa supersonic masih perlu ditonton?
jawabannya perlu. Film supersonic
dapat difungsikan sebagai medium detoksifikasi, membuang residu negatif untuk
kesan-kesan akhir yang kurang menyenangkan dari perjalanan Oasis. Atau barangkali memang begitu cara kerja film ini?

No comments:
Post a Comment