Sunday, May 14, 2017

Supersonic (2016): Liam dan Noel Merayakan Kenangan




Genre: Dokumenter | Durasi: 122 menit | Rating: R| Tanggal rilis:  26 Oktober, 2016 (AS)

Sutradara: Matt Whitecross

Bintang: Owen Morris, Maggie Mouzakitis,Tony McCarroll

Resensi

“Oasis was like fucking ferrari, great to look at great to drive bla bla” seloroh Liam Gallagher mengenang masa-masa bulan madunya saat masih bersama Oasis dulu.

Kalau dipikir-pikir rasanya tak ada yang berlebihan dari ucapan bintang rock’n roll dengan aksi panggung minimalis itu. Mengingat pada medio 1990an, Oasis memang sebuah grup musik yang bukan main fenomenal.   

Ketika partai buruh—dibawah nahkoda Tony Blair—mengubah peta perpolitikan Inggris dengan reformasi New Labournya, dan saat orang-orang sibuk membandingkan pencapaian budaya populer masa itu dengan dekade 60an; lima pemuda tengil dari kelas proletar kota Manchester, berhasil menapaki gemerlap ketenaran lewat lagu yang berkisah tentang seorang yang hidup di balik air terjun. 

Karir mereka terus melesat maju tak terbendung. Oasis tak ubahnya wabah pandemik yang terus meluas. Tak cuma menjangkiti orang-orang di negeri tempat kelahiran Harold Pinter itu saja, virus yang mereka torehkan terus bermigrasi ke setiap penjuru dunia. Kulminasi dari segala gegak gempita ini—bisa dibilang—adalah konser yang digelar selama 2 hari di bulan mei 1996.

Sebanyak 4 juta jiwa hadir memadati knebworth park waktu itu. Sekitar 4% dari angka populasi penduduk Inggris, berjibaku untuk mendapatkan tiketnya. Media BBC menyebutnya sebagai sebuah konser yang menakrifkan sebuah era. Dalam waktu relatif singkat, Oasis menahbiskan diri sebagai band tersohor setelah era John lennon dkk.

Sialnya, Gusti Allah tak menghendaki eksistensi Oasis berlangsung terlalu lama, setelah digerogoti masalah internal yang kian berlarut-larut, Gallagher bersaudara resmi membubarkan Oasis di tahun 2009. Tujuh tahun lewat, sejak kiprah band berjuluk sex beatles itu terhenti, kerinduan fans barangkali sedikit terobati dengan dirilisnya film dokumenter asuhan Matt Whitecross ini.

Supersonic memugar kembali kenangan tentang waktu-waktu saat Liam dan Noel, bersama Guigsy, Bonehead, dan Mccarroll memulai kiprahnya di belantika musik tanah britania; manggung dari satu gig ke gig lainnya; ditemukan oleh Alan McGee (pemilik label indie legendaris (creation records)); rekaman untuk kali pertama; bersenang-senang; melakukan debut televisi; bersenang-senang; dan membuat dunia bertekuk lutut.

Harapan saya sempat membumbung tinggi akan supersonic. Alasannya; ada nama Asif Kapadia di sana yang bercokol sebagai produser. Asif adalah orang yang sama yang membikin film dokumenter nominator oscar tentang Amy Winehouse yang berharga itu. 

Entah saya yang kebacut, terhanyut dalam penggalan-penggalan rekaman mentah saat band ini akur, atau kadung terbuai oleh lagu-lagu pemantik kenangan yang menetap—seperti live forever—hingga saya telat menyadari bahwa Supersonic cuma melulu berbicara tentang Oasis sebagai band hebat, dulu. Tak jauh. 

Tak seperti film Amy yang mendalam bin berwawasan, Supersonic menghimpun simpul yang berbeda dari harapan saya untuk mengetahui hal-hal yang belum saya ketahui sebagai seorang penggemar. Matt Whitecross memang tak sampai menceritakan bagaimana persona band ini memudar digerus ego masing-masing personilnya. Atau paling tidak—sekurang-kurangnya—ikhtiar mereka dalam persaingan melawan gempuran band-band lain seperti Pulp dan Blur dalam semesta British Invasion, misalnya.

Selain sebatas menampilkan rekaman latihan, konser, plus laku lajak para rockstarnya, tak ada lagi yang tersisa untuk ditawarkan. Matt Whitecross tak benar-benar merangkai komponen-komponen untuk memberikan perspektif lain tentang Oasis. Supersonic sempat membahas tentang hubungan kakak beradik Gallagher dengan sang ayah yang tak harmonis. Tapi porsinya terasa sekedar menjadi sempalan yang ujug-ujug numpang lewat. Lagi pula, tak begitu penting kiranya untuk penonton tahu serenggang apa ikatan bapak dan anak tersebut, toh esensinya cuma ingin membangkitkan mitos Oasis sebagai sebuah panteon.

Hambar? Bisa dibilang begitu. Sebagian besar materi dalam film Supersonic dapat dengan mudah kita temukan di ensiklopedi daring kesayangan rakyat (wikipedia, red). Belum lagi, di sepanjang 120 menitan film berjalan, jangankan pengetahuan berarti yang penonton dapat, "petuah bijak" yang kerap terlontar dari congor Noel maupun Liam gallagher tak satupun terdengar gaungnya. Komentar-komentarnya bersesuaian, cenderung sopan untuk kaliber mereka. Yang menghibur malah keseruan cerita-cerita tempelan seperti saat Liam seakan mendapat wahyu bermusik dari Tuhan setelah kepalanya dihantam dengan palu oleh teman sekolahnya; atau cerita tentang personil Oasis yang teler sehabis menghisap bubuk kristal ajaib.

Tak ada yang salah bila memang film rockumentary ini diarahkan untuk mengenang yang manis-manis saja, tapi apakah juga harus sepelit ini? Saya lupa bahwa disamping nama Asif kapadia, juga terselip nama the gallaghers nan mahsyur duduk sebagai eksekutif produser. Barangkali ini satu-satunya jawaban, mengapa Supersonic bermula pada histeria penonton yang mengelu-elukan nama mereka, lalu berhenti pada momen yang sama persis. Oasis’ incredible gigs at Knebworth, the gigs of the century.

Lalu apa supersonic masih perlu ditonton? jawabannya perlu. Film supersonic dapat difungsikan sebagai medium detoksifikasi, membuang residu negatif untuk kesan-kesan akhir yang kurang menyenangkan dari perjalanan Oasis. Atau barangkali memang begitu cara kerja film ini?

No comments:

Post a Comment