Saturday, August 6, 2016

Dheepan (2015): Kehidupan Imigran dalam Ruang Disfungsional


Genre: Drama | Durasi: 115 menit | Rating: R| Tanggal rilis:  13 Mei, 2016 (AS)

Sutradara: Jacques Audiard

Penulis: Jacques Audiard

Pemeran:Jesuthasan Antonythasan, Kalieaswari Srinivasan, Claudine Vinasithamby

Resensi

Sependek ingatan saya, Dheepan adalah film ke-2 dari total 9 film arahan Jacques Audiard, yang gamblang mempersoalkan hidup keseharian kaum imigran di Perancis. Sebelumnya ada film  A Prophet; berkisah tentang karir kriminal seorang pria Aljazair dari balik jeruji besi. Film yang merengkuh penghargaan palme d’or di festival Cannes tahun 2009 itu menjadi menarik, karena selain menyoroti power struggle yang dialami oleh karakternya, A prophet juga  menyinggung pandangan terhadap subkultur islam di Perancis, yang merupakan salah satu diskursus terpanas di negara itu selama bertahun-tahun.

Di film teranyarnya—masih dengan balutan intrik kriminalitas yang membungkus alur kisah—Audiard mencoba untuk lebih bertutur secara sederhana dan tidak lebih subtekstual dari film pendahulunya. Dalam film Dheepan, jalinan kisah terasa lebih utuh, karena Audiard lebih getol mengeksplor latar belakang tokoh demi tokoh yang terlibat langsung dengan konflik utama. Namun dibanding  A prophet, plot Dheepan tak benar-benar terjalin dengan kuat. Narasinya malah terkesan putus-putus saat ritme mulai meninggi di babak akhir. 

Inti cerita berhulu dari nasib yang merundung Shivadasaan (Jesuthasan Antonythasan), seorang mantan anggota separatis macan tamil yang istri dan anak-anaknya tewas terbunuh dalam perang saudara di Sri Lanka. Pertikain tak kunjung menemui titik temu, tak ada pilihan baginya selain hijrah dari negaranya. Bersama seorang wanita, dan seorang anak berumur sembilan tahunan (dengan latar belakang yang sama), Shivadasaan menemukan dirinya berada di Paris, untuk memutar ulang kehidupan. 

Realitas Baru
Shivadasaan dan dua kompatriotnya bersusah payah beradaptasi dengan gaya hidup di negara warisan bangsa gallia itu. Berjibaku dengan realitas sebagai pencari suaka demi memperoleh penghidupan yang jauh lebih layak. Mulai dari berdagang asongan hingga mengakali sistem pemberian suaka (OFPRA) dengan siasat berpura-pura menjadi sebuah keluarga. Kenyang dengan beragam penolakan, akhirnya sebuah pekerjaan menghampiri Sivadashan (yang kini telah berganti nama menjadi Dheepan), menjadi tukang bersih-bersih dengan gaji pas-pasan dan sebuah flat sempit di rumah susun kumuh di pinggiran kota Paris. 

Hari berganti, memberi secarik harapan ketika Sang anak, Illayaal (Claudine Vinasithamby), mulai bersekolah dan sang istri Yalini (Kalieaswari Srinivasan) mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu bagi seorang pria, pengidap demensia. Awal mula yang menjanjikan, hingga kemudian segala sesuatunya tak berjalan sesuai harapan. Dheepan dan keluarga kecilnya harus menerima kenyataan bahwa memoar kelam tentang kehidupan muasal belum sedikitpun hilang, dan berbaur dengan lingkungan asing bukan perkara membalikan telapak tangan.

Tak cukup waktu memulihkan luka dan melekatkan hal-hal batiniah lainnya; Keluarga Dheepan malah semakin dilanda kegelisahan, begitu menyadari keberadaan warga lokal yang mengendalikan bisnis narkoba tepat di seberang  rumah mereka setiap paginya. Apalagi setelah kemunculan seorang pria bernama Brahim; ia sosok berpengaruh—yang merupakan keponakan dari majikan di tempat Yalini bekerja. Dihinggapi ketakutan akan keadaan yang dapat kembali menggulirkan tragedi, Dheepan mulai menghitung langkah untuk memproteksi diri dan orang-orang terdekatnya. 

Kompleksitas Konflik 
Sepintas tak tampak ada yang begitu menononjol dari film fitur ke-7 arahan Jacques Audiard, filmnya masih menyuguhkan alunan sinematografi yang rapi menggambarkan dilematika kehidupan sedemikian wajar khas Audiard. Di antara dari kita, mungkin telah lumayan banyak kenal dengan film-film bertemakan akulturasi budaya (diluar dari film-film Audiard), di antaranya Sebut saja; Welcome, Le Havre, atau The Visitor. Namun dibandingkan dengan film yang menyingkap tema serupa, Dheepan mengambil ceruk eksplorasi lain terhadap isu keluarga imigran yang inkonvensional.

Tak ada eksperimen lebih seperti saat Audiard dengan licinnya menautkan dialog astral lintas dimensi di tengah hiruk-pikuk perang gangster dalam A prophet. Kisah Dheepan lebih stabil dan melodramatis tanpa banyak belokan di dalamnya. Kebiasaan audiard mengusung gaya realis yang mangkus dan penuh subteks di film2nya mungkin akan terasa menjemukan di film ini bagi sebagian orang. Beruntungnya berkat permainan aktor-aktor yang mampu menerjemahkan dan menyelaraskan dialog yang padu dengan seluruh gerak tubuh yang ditampilkan, cerita Dheepan menjadi jauh lebih dinamis.

Kegelisahan  yang digambarkan dalam juktaposisi tentang kenyataan yang dihadapi karakter di masa sekarang, dengan bayang-bayang yang terus menghantui takdir mereka, diyakinkan oleh kedalaman akting yang evokatif, membuahkan jalinan emosi yang padat. Terpapar dari amarah dan penyesalan yang simultan dalam upaya untuk saling melindungi.

Sepanjang film, kita disuguhkan oleh ketegangan yang justru muncul bukan dari adegan kekerasan, melainkan pergolakan emosi yang kuat antar pelakon. Yang menyedot perhatian adalah konflik batin kedua pemeran utamanya, Dheepan dan Yalini, yang tersaruk-saruk menentukan hubungan mereka di suatu tempat. Di antara pragmatisme dan kasih sayang; antara harapan dan keputus asaan. 

Partikel-partikel emosi itu larut, beranjak pelan-pelan mendekati inti dari rajutan konfliknya. Keintiman yang terjalin antar tokoh, perlahan mengisi ruang-ruang kosong, mewujudkan sebuah struktur cerita yang sulit ditembus. Namun sayang dalam proses menuju tuntas, plot Dheepan malah kedodoran. Penyampaian yang terbata-bata agaknya sedikit mengilangkan kesan. Yang menarik bahwa bahkan saat di mana kita kurang lebih dapat menebak bagian akhir film, tapi Dheepan masih sempat-sempatnya mengecoh antisipasi penonton di sepanjang menit-menit penghabisan.

Isu Relevan
Melompat mundur jauh ke zaman kuno, Perancis, sejak era kekaisaran romawi, merupakan rumah bagi para pendatang dari negara-negara koloni. Perancis merupakan negara yang menjadi wilayah integrasi berbagai populasi berbeda. Dengan demikian,kegiatan berimigrasi merupakan hal yang lumrah bagi Perancis karena telah terjadi sejak waktu yang lama. Di era modern, Perancis menjadi salah satu negara diantara Jerman dan Belanda dengan jumlah imigran terbesar di wilayah Eropa saat ini. Sejak tahun 2007, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam kebijakan imigrasi Perancis. Perancis tampak semakin restriktif menyangkut persoalan imigran.

Semenjak Perancis dipimpin oleh Presiden Nicholas Sarkozy. Kebijakan imigrasi di negara itu pun menjadi sangat ketat, di mana terdapat beberapa poin yang mengindikasikan bahwa jumlah imigran di Perancis baik untuk imigran lama maupun untuk imigran yang baru akan masuk ke Perancis harus dikurangi dalam jumlah signifikan. Pemerintah Perancis, misalnya, menerapkan kebijakan pemulangan para imigran dengan target yang tinggi setiap tahunnya. Legalisasi pendatang ilegal ini menimbulkan debat terutama di antara partai politik kiri dan kanan. Belum lagi semakin kencangnya kecenderungan opini-opini xenofobia yang bemunculan.

Film Dheepan hadir sebagai sebuah isu usang yang tetap relevan, tapi Jacques Audiard tak cuma menjadikannya sebagai epitet belaka. Ia masuk cukup dalam terutama dalam menyambung latar belakang para tokoh utama yang adalah imigran-penyintas-perang-pencari-suaka dengan konteks keadaan masa kiwari.Tak cukup sampai di situ saja, melalui tangkapan kamera Eponine Momenceau, film ini juga menangkap gambaran tentang bagaimana sistem struktural kewarganegaraan dan kebangsaan Perancis yang rumit dan menyulitkan para imigran untuk tinggal dan mendapat pekerjaan. Identitas sosial kaum imigran yang sering dilabelisasi dengan stigma, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat umum pun tak luput dari bidikan. Trauma serta perlakuan terhadap imigran mengemanasi dalam dialog yang kaku, susana kering atau tatapan kosong dan rasa takut. Faktanya Dheepan memang dimainkan oleh para non-aktor, bahkan mantan anggota macan tamil sungguhan. Bahkan kabarnya Audiard turun langsung ke tengah-tengah perkumpulan mantan anggota militer macan tamil di perancis, untuk menggali informasi lebih mendalam.

Dalam sebuah putaran besar, Dheepan adalah tentang trauma yang menyelimuti deprivasi sosial dan budaya dalam keterisolasian kaum imigran dari hingar-bingar kehidupan pribumi. Dheepan adalah cara Audiard menyikapi hal-hal yang mengganggu pikirannya itu, dalam film yang diganjar penghargaan Palme d'Or  2016 tersebut, tak ada upayanya untuk  menyeimbangkan ketimpangan; masalah konflik sosial, kemiskinan, dan rusaknya moralitas orang-orang dari latar belakang imigran digambarkan dalam ruang lingkup disfungsional secara konsisten dan faktual.

No comments:

Post a Comment