Genre: Drama | Durasi: 115 menit | Rating: R| Tanggal rilis: 13 Mei, 2016 (AS)
Sutradara: Jacques Audiard
Penulis: Jacques Audiard
Pemeran:Jesuthasan Antonythasan, Kalieaswari Srinivasan, Claudine Vinasithamby
Pemeran:Jesuthasan Antonythasan, Kalieaswari Srinivasan, Claudine Vinasithamby
Resensi
Sependek ingatan saya, Dheepan
adalah film ke-2 dari total 9 film arahan Jacques Audiard, yang gamblang mempersoalkan
hidup keseharian kaum imigran di Perancis. Sebelumnya ada film A Prophet;
berkisah tentang karir kriminal seorang pria Aljazair dari balik jeruji besi. Film yang merengkuh penghargaan palme d’or di festival Cannes tahun 2009 itu menjadi menarik,
karena selain menyoroti power struggle yang dialami oleh karakternya, A prophet juga menyinggung pandangan terhadap subkultur islam di Perancis, yang merupakan salah satu diskursus terpanas di negara itu selama bertahun-tahun.
Di film teranyarnya—masih dengan balutan intrik kriminalitas yang
membungkus alur kisah—Audiard mencoba
untuk lebih bertutur secara sederhana dan tidak lebih subtekstual dari film pendahulunya. Dalam
film Dheepan, jalinan kisah terasa
lebih utuh, karena Audiard lebih getol mengeksplor latar belakang tokoh demi
tokoh yang terlibat langsung dengan konflik utama. Namun dibanding A
prophet, plot Dheepan tak benar-benar terjalin dengan kuat. Narasinya
malah terkesan putus-putus saat ritme mulai meninggi di babak akhir.
Inti cerita berhulu dari nasib yang merundung Shivadasaan
(Jesuthasan Antonythasan), seorang mantan
anggota separatis macan tamil yang istri dan anak-anaknya tewas terbunuh
dalam perang saudara di Sri Lanka. Pertikain tak kunjung menemui titik temu, tak
ada pilihan baginya selain hijrah dari negaranya. Bersama seorang
wanita, dan seorang anak berumur sembilan tahunan (dengan latar belakang yang
sama), Shivadasaan menemukan dirinya berada di Paris, untuk memutar ulang kehidupan.
Realitas Baru
Shivadasaan dan dua kompatriotnya bersusah payah beradaptasi dengan
gaya hidup di negara warisan bangsa gallia itu. Berjibaku dengan realitas sebagai pencari suaka demi
memperoleh penghidupan yang jauh lebih layak. Mulai dari berdagang asongan hingga mengakali
sistem pemberian suaka (OFPRA) dengan siasat berpura-pura menjadi sebuah keluarga. Kenyang dengan beragam penolakan, akhirnya sebuah pekerjaan
menghampiri Sivadashan (yang kini telah berganti nama menjadi Dheepan), menjadi
tukang bersih-bersih dengan gaji pas-pasan
dan sebuah flat sempit di rumah susun kumuh di pinggiran kota Paris.
Hari berganti, memberi secarik harapan ketika Sang anak, Illayaal (Claudine Vinasithamby), mulai bersekolah dan sang istri Yalini (Kalieaswari Srinivasan) mendapatkan pekerjaan sebagai
pembantu bagi seorang pria, pengidap demensia. Awal mula yang menjanjikan, hingga
kemudian segala sesuatunya tak berjalan sesuai harapan. Dheepan dan
keluarga kecilnya harus menerima kenyataan bahwa memoar kelam tentang kehidupan
muasal belum sedikitpun hilang, dan berbaur dengan lingkungan asing bukan perkara
membalikan telapak tangan.
Tak cukup waktu memulihkan luka dan melekatkan hal-hal batiniah lainnya; Keluarga Dheepan malah semakin dilanda kegelisahan, begitu menyadari keberadaan warga lokal yang mengendalikan bisnis narkoba tepat di seberang rumah mereka setiap paginya.
Apalagi setelah kemunculan seorang pria bernama Brahim; ia sosok berpengaruh—yang merupakan keponakan dari majikan di tempat
Yalini bekerja. Dihinggapi ketakutan akan keadaan yang dapat kembali menggulirkan
tragedi, Dheepan mulai menghitung langkah untuk memproteksi diri dan orang-orang
terdekatnya.
Kompleksitas Konflik
Sepintas tak tampak ada yang begitu menononjol dari film fitur
ke-7 arahan Jacques Audiard, filmnya masih menyuguhkan alunan sinematografi yang rapi
menggambarkan dilematika kehidupan sedemikian wajar khas Audiard. Di antara
dari kita, mungkin telah lumayan banyak kenal dengan film-film bertemakan akulturasi
budaya (diluar dari film-film Audiard), di antaranya Sebut saja; Welcome, Le Havre, atau The Visitor. Namun dibandingkan dengan film
yang menyingkap tema serupa, Dheepan
mengambil ceruk eksplorasi lain terhadap isu keluarga imigran yang inkonvensional.
Tak ada eksperimen lebih seperti saat Audiard dengan licinnya menautkan dialog astral lintas dimensi di tengah hiruk-pikuk perang gangster dalam A prophet. Kisah Dheepan lebih
stabil dan melodramatis tanpa banyak belokan di dalamnya. Kebiasaan audiard mengusung
gaya realis yang mangkus dan penuh subteks di film2nya mungkin akan terasa menjemukan di film ini bagi sebagian
orang. Beruntungnya berkat permainan aktor-aktor yang mampu menerjemahkan dan
menyelaraskan dialog yang padu dengan seluruh gerak tubuh yang ditampilkan, cerita Dheepan menjadi jauh lebih dinamis.
Kegelisahan yang digambarkan dalam juktaposisi tentang kenyataan yang dihadapi karakter di masa
sekarang, dengan bayang-bayang yang terus menghantui takdir mereka,
diyakinkan oleh kedalaman akting yang evokatif, membuahkan jalinan emosi yang
padat. Terpapar dari amarah dan penyesalan yang simultan dalam upaya untuk
saling melindungi.
Sepanjang film, kita disuguhkan oleh ketegangan yang justru
muncul bukan dari adegan kekerasan, melainkan pergolakan emosi yang kuat antar pelakon.
Yang menyedot perhatian adalah konflik batin kedua pemeran utamanya, Dheepan dan Yalini, yang tersaruk-saruk menentukan hubungan mereka di suatu tempat. Di antara pragmatisme dan kasih
sayang; antara harapan dan keputus asaan.
Partikel-partikel emosi itu larut, beranjak pelan-pelan
mendekati inti dari rajutan konfliknya. Keintiman yang terjalin antar tokoh,
perlahan mengisi ruang-ruang kosong, mewujudkan sebuah struktur cerita yang
sulit ditembus. Namun sayang dalam proses menuju tuntas, plot Dheepan malah kedodoran. Penyampaian
yang terbata-bata agaknya sedikit mengilangkan kesan. Yang menarik bahwa bahkan
saat di mana kita kurang lebih dapat menebak bagian akhir film, tapi
Dheepan masih sempat-sempatnya mengecoh antisipasi penonton di sepanjang menit-menit
penghabisan.
Isu Relevan
Melompat mundur jauh ke zaman kuno, Perancis, sejak era kekaisaran romawi, merupakan rumah bagi para pendatang dari negara-negara koloni. Perancis merupakan
negara yang menjadi wilayah integrasi berbagai populasi berbeda. Dengan
demikian,kegiatan berimigrasi merupakan hal yang lumrah bagi Perancis karena telah
terjadi sejak waktu yang lama. Di era modern, Perancis menjadi salah satu negara diantara Jerman dan Belanda dengan jumlah imigran terbesar di wilayah Eropa saat ini. Sejak
tahun 2007, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam kebijakan imigrasi
Perancis. Perancis tampak semakin restriktif menyangkut persoalan imigran.
Semenjak Perancis dipimpin oleh Presiden Nicholas Sarkozy.
Kebijakan imigrasi di negara itu pun menjadi sangat ketat, di mana terdapat
beberapa poin yang mengindikasikan bahwa jumlah imigran di Perancis baik untuk
imigran lama maupun untuk imigran yang baru akan masuk ke Perancis harus dikurangi
dalam jumlah signifikan. Pemerintah Perancis, misalnya, menerapkan kebijakan
pemulangan para imigran dengan target yang tinggi setiap tahunnya. Legalisasi
pendatang ilegal ini menimbulkan debat terutama di antara partai politik kiri
dan kanan. Belum lagi semakin kencangnya kecenderungan opini-opini xenofobia
yang bemunculan.
Film Dheepan hadir sebagai sebuah isu usang yang tetap relevan, tapi Jacques
Audiard tak cuma menjadikannya sebagai epitet belaka. Ia masuk cukup dalam terutama
dalam menyambung latar belakang para
tokoh utama yang adalah imigran-penyintas-perang-pencari-suaka dengan konteks keadaan masa kiwari.Tak cukup sampai di situ saja, melalui tangkapan kamera Eponine
Momenceau, film ini juga
menangkap gambaran tentang bagaimana sistem struktural kewarganegaraan dan
kebangsaan Perancis yang rumit dan menyulitkan para imigran untuk tinggal dan
mendapat pekerjaan. Identitas sosial kaum imigran yang sering dilabelisasi
dengan stigma, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat umum pun tak luput
dari bidikan. Trauma serta perlakuan terhadap imigran mengemanasi dalam dialog yang kaku, susana kering atau tatapan kosong dan rasa takut. Faktanya Dheepan memang dimainkan oleh para non-aktor, bahkan mantan anggota macan tamil sungguhan. Bahkan kabarnya Audiard turun langsung ke tengah-tengah perkumpulan mantan anggota militer macan tamil di perancis, untuk menggali informasi lebih mendalam.
Dalam sebuah putaran besar, Dheepan adalah tentang trauma
yang menyelimuti deprivasi sosial dan budaya dalam keterisolasian
kaum imigran dari hingar-bingar kehidupan pribumi. Dheepan adalah cara Audiard menyikapi hal-hal yang mengganggu
pikirannya itu, dalam film yang diganjar penghargaan Palme d'Or 2016 tersebut,
tak ada upayanya untuk menyeimbangkan
ketimpangan; masalah konflik sosial, kemiskinan, dan rusaknya moralitas
orang-orang dari latar belakang imigran digambarkan dalam ruang lingkup
disfungsional secara konsisten dan faktual.

No comments:
Post a Comment